YPP Nurullatif

YPPNL — Manusia setiap saat memproduksi dosa yang disengaja atau pun tidak disengaja. Karena hati dan pikiran manusia merupakan tempat salah dan lupa sehingga menghasilkan sampah/dosa. Sampah yang menggunung harus dibersihkan atau harus dibakar.

Pembersihan sampah/dosa sebenarnya dapat dilakukan setiap saat, tetapi masih banyak sampah yang relatif berserakan. Oleh karena itu, ada waktu yang paling tepat untuk pembersihan dosa yaitu saat menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Mengapa bulan Ramadhan waktu yang dipilih pembakaran dosa-dosa? Karena orang yang berpuasa pada bulan itu akan dihapus dosa-dosanya setahun yang telah berlalu. Hal ini didasari hadits berikut ini : “Manshoma ramadhona imanan wahtisaban ghufiro lahu mataqodama mindzambih” (HR Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut makna secara bebas adalah ‘Barang siapa berpuasa Ramadhon dengan dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni’

Dosa-dosa setahun yang lalu bisa terbakar bisa diampuni, jika seseorang melakukan puasa pada bulan Ramadhan. Akan tetapi, perlu diingat puasa Ramadhan sebagai “cleaner” pembersih dosa-dosa harus memiliki dua pondasi yang kokoh. Dua pondasi itu ialah “iman” dan “ihtisaban”. Artinya, puasa seseorang harus di atas “iman” kepada Allah SWT bukan karena yang lain. Selain itu, puasa seseorang harus di atas pondasi “ihtisaban” yaitu sebuah kalkukasi atau perhitungan yang cerdas sehingga bisa menghasilkan nilai keberuntungan/kemenangan bagi dirinya dan lingkungan sosial.

“Ihtisaban” dalam konteks hadits di atas bukan hanya dimaknai secara literer (lokusi) dan ilokusi, melainkan harus dipahami secara semantik perlokusi berupa amali berdampak positif bagi orang lain di sekitarnya. Jika hadits yang dimaksud hanya dipahami secara lokusi dan ilokosi, maka proses pembersihan atau pembakaran dosa-dosa setahun yang lalu perlu direnungkan kembali. Pemikiran atau perenungan kembali ini termasuk hal penting agar dalam pemahaman subtansi tidak hanya secara tekstual, tetapi ada pertimbangan kontekstual (linguitik pragmatik).

“Ihtisaban”, perhitungan untung – rugi yang dimaksud di sini adalah adanya kesadaran diri atas sejumlah temuan dosa (kesalahan) setahun yang telah lalu. Oleh karena itu, temuan sejumlah dosa yang disadari kemudian dikonversi dalam bentuk infak, sedekah, atau lainnya. Konversi dalam bentuk infak dan sedekah dapat diparalelkan dengan pembayaran denda atau kifarat. Selanjutnya, infak dan sedekah hasil akhir “ihtisaban” diberikan kepada fakir, miskin, dan anak yatim dalam bulan Ramadhan tentu berdampak positif terhadap lingkungan sosial. (Tubiyono, 4/3/24)