YPP Nurullatif

YPPNL – Sebagai manusia biasa, pertanyaan pada judul tulisan ini sangat wajar. Kewajaran itu dapat diperhatikan dari sisi material dan dari sisi hak. Secara material, manusia sangat lemah tak berdaya sejak di dalam rachim ibu. Manusia tidak bisa memilih rachim ibu, tidak bisa memilih warna kulit, tidak bisa memilih lingkungan bahasa dan budaya, tidak bisa memilih lahir jenis kelamin laki atau perempuan, dan tidak bisa memilih takdir hidup masa depannya.

Takdir hidup manusia untuk masa depan diliputi misteri sangat gelap, ada tabir tebal yang tak mampu ditembus oleh pandangan manusia. Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan secara pasti. Meski manusia dilengkapi akal pikiran, tetapi manusia tak bisa meneropong takdir masa depannya. Akal pikiran manusia terbatas hanya mampu memprediksi berdasarkan hukum-hukum logika formal dan informal, terbatas pada relasi kausalitas sebab-akibat. 

Hukum-hukum logika formal dan informal tidak memungkinkan menembus misteri takdir manusia.  Takdir manusia bersifat imaterial sehingga  untuk mengetahui takdirnya tidak dapat diberlakukan hukum-hukum logika. Takdir seseorang adalah keniscayaan, pasti terjadi, tidak dapat dinarasikan dengan logika verbal. Takdir manusia hanya dapat dipercayai, diyakini, atau diimani. 

Selain dari sisi material, adalah sisi pemilik hak. Manusia bukan pemilik hak, bukan penentu hak, bukan perencana hak, melainkan sebagai benefaktif, penerima dari aktor lain. Aktor lain yaitu Alloh SWT, Tuhan sebagai  penguasa, pencipta, pemelihara atas segala sesuatu tak terbatas. Akan tetapi, atas karunia, kasih sayang, rahmat, dan berkah-Nya Alloh SWT memberikan kesempatan satu malam istimewa kepada manusia (umat Rasululloh Muhammad SAW) untuk menggoreskan takdir masa depannya (QS, Al – Qodr: 1-5). Malam istimewa itu hanya terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan yang nilainya lebih baik daripada  seribu bulan. Atas idzin-Nya para malaikat turun ke bumi untuk membantu memberikan solusi terbaiknya sampai fajar menyingsing. 

Jadi, berdasarkan deskripsi yang sangat terbatas ini bahwa kita sebagai manusia memiliki peluang untuk menggoreskan takdir atas idzin-Nya. Untuk mendapatkan idzin-Nya, manusia harus berikhtiar dengan berbagai wasilah agar diterima atau diridhoi Allah SWT. Ikhtiar dalam wujud dzikir, tilawatil Quran, iktikaf, amilus sholichah, sedekah, infak, dan sebagainya yang semuanya dilakukan dengan penuh keimanan, kesadaran yang terdalam, hingga tenggelam dalam ketenangan hati secara khusyuk dapat merasakan kehadiran-Nya. Jika tidak bisa merasakan kehadiran-Nya, kita tetap meyakini bahwa Allah SWT memperhatikan, memiliki hak prerogatif “irodah” berkehendak. (Tubiyono, 30/3/24)