YPPNL — Apa yang dimaksud “maghdzubi” dan “dzolin”? Mengapa pribadi muslim menghindari “maghdzubi” dan “dzolin”? Lafal “maghdzubi” merujuk pada makna ‘jalan orang-orang yang dimarahi atau dimurkahi’ dan lafal “dzolin” merujuk pada makna ‘jalan orang-orang sesat’ (QS, 1: 7).
Penjelasan secara deskriptif, naratif, dan argumentatif mengenai “maghdzubi” dan “dzolin” tersebar pada ayat-ayat di dalam kitab suci Al-Quran sebagai ulumul, sumber ilmu dan hudalinas, petunjuk manusia. Jika kita tidak membaca Al-Quran, maka tidak tahu isi kandungannya. Oleh karena itu, secara imperatif kita membaca dengan nama Tuhan yang mencipta dan yang maha mulia (QS, 96:1-3).
Setelah membaca Al-Quran, maka kita tahu substansinya bahwa yang dimaksud “maghdzubi” seperti ungkapan kemarahan secara verbal “kunu qirodatan khosiin” (QS, 2:65), ‘jadilah kera-kera yang hina’ dalam bahasa Jawa ‘dadiya kethek elek’. Kemarahan Tuhan tersebut ditujukan kepada penganut Yahudi yang sudah memiliki pengetahuan dan diambil sumpah dengan diangkatnya Gunung Tursina di atasnya, tetapi tetap melanggar perintah, tidak mau melaksanakan amalan yang telah disampaikan.
Kemarahan Tuhan juga disampaikan kepada iblis karena dengan sombong berani menentang perintah bersujud kepada Adam AS. Iblis iri karena kedudukannya lebih rendah daripada Adam dan mengancam akan menyesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil. Oleh karena itu, Allah SWT mengusirnya “adzhab” ‘pergilah (dari surga)’, barang siapa di antara mereka yang mengikutimu, jahanamlah balasanmu semua (QS, 17:61-63).
Setelah memahami “maghdzubi” secara deskriptif, berikut ini terkait dengan “dzolin”, jalan orang-orang yang sesat. Jalan yang “dzolin” dijelaskan bahwa Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi, pencipta segala sesuatu, bagaimana Tuhan punya anak padahal tidak punya isteri (QS, 6.101). Dalam hal ini diperkuat lagi bahwa Tuhan itu esa, tunggal, tempat bergantung segala permohonan, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada bandingannya/kesetaraannya ( QS, 112:1-4). Sebagian orang tidak akan percaya sebelum ada fakta ditemukan seorang utusan membaca lembaran suci, kitab yang lurus. Tidak ada perbedaan setelah diberikan bukti nyata, tidak ada perintah lain, kecuali mengabdi secara ikhlas, beragama yang hanif/lurus, melaksanakan salat dan zakat (QS, 98:1-5). Jika seseorang buta (hatinya) di dunia, maka di akhirat termasuk “dzolin” sesat dari jalan yang benar (QS, 17:72).
Dengan demikian, bagi seorang muslim Al-Quran sebagai hudalinas/petunjuk manusia dan pedoman hidup, “way of life” yang di dalamnya ada tujuh ayat yang selalu diulang (QS, 15: 87). Tujuh ayat tersebut ada pada ulumul Quran (QS,1: 1-7). Tujuh ayat bersifat repetitif menandakan bahwa ada hal sangat penting yang perlu dicermati secara bersungguh-sungguh. Berdasarkan substansi, ada satu pesan penting dalam surat Al-Fatihah, ada sebuah permohonan. Permohonan itu, “ihdianas shirothol mustaqim” (QS,1:6) agar diberi petunjuk jalan yang lurus. Hal ini bisa diperhatikan pada (QS,1:7) yaitu jalan yang lurus bukan “maghdzubi” dan “dzolin”, jalan orang-orang yang diberi nikmat bukan jalan orang-orang yang dimurkahi dan orang-orang yang sesat. (Tubiyono, 26/7/24)