YPPNL – Indonesia sangat beruntung memiliki dua organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan
terbesar yaitu Nahdhotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua ormas Islam ini dapat menjadi
modal sosial-kultural yang tak ternilai bagi eksistensi bermasyarakat, berbudaya, dan bernegara
Indonesia. Secara historis, sejak masa kolonial, kemerdekaan, sampai dengan masa pascareformasi
kedua ormas tersebut terlibat secara intens pada setiap masanya. NU dan Muhammadiyah memiliki
sejumlah perbedaan, tetapi perbedaan-perbedaan itu dapat dikelola secara cerdas sehingga tidak
terjadi konflik dalam masyarakat. Salah satu ilustrasi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah
adalah metode penentuan awal bulan Ramadhan 1445 H/2024 M.
Awal Ramadhan 2024 M/1445 H Muhammadiyah mulai berpuasa 1 Ramadhan 1445 H
bertepatan dengan 11 Maret 2024 dan NU bersama pemerintah mulai berpuaa 1 Ramadhan
bertepatan 12 Maret 2024. Perbedaan awal puasa bukan hanya tahun ini, melainkan tahun-tahun
sebelumnya sering terjadi perbedaan. Perbedaan itu bukan menjadi masalah, melainkan saling
dipahami dan dihurmati sehingga dapat dikatakan perbedaan dalam kesatuan yang indah.
Mengapa sering terjadi perbedaan penentuan awal Ramadhan? Perbedaan penentuan awal
Ramadhan terjadi karena ada perbedaan metode. Ada dua metode penentuan awal Ramadhan yaitu
(1) metode hisab/perhitungan yang dijadikan dasar Muhammadiyah dan (2) metode rukyat yang
dijadikan dasar bagi NU. Dua metode tersebut masing-masing dibenarkan dalam Islam sehingga
tidak terjadi konflik kepentingan satu sama lain.
Perbedaan itu adalah nyata kehendak Alloh SWT sebagai Maha Pencipta dalam kebinekaan,
keragaman (suku, bangsa, bahasa, adat-istiadat, dan lain-lain) agar manusia menggunakan akal
budinya untuk saling memahami adanya realitas perbedaan itu. Kenyataan itu dapat dijelaskan
secara verbal dalam (QS Al Hujurat: 13). Berdasarkan substansi kandungan ayat tersebut secara
implisit Alloh SWT tidak menyukai kesombongan karena keturunan, kekayaan, dan kekuasaan. Akan
tetapi, Alloh SWT lebih menyukai hamba yang rendah hati, hamba yang baik budi, hamba yang baik
kualitas takwanya sehinga bisa menjadi manusia mulia di sisi-Nya.
Konsekuesi pemahaman Al Hujurat 13 tersebut diharapkan tiap individu atau pun kolektif
dari ormas NU atau Muhammadiyah dapat berkompetisi untuk menjadi yang terbaik amal
kebaiknnya. Oleh karena itu, ada konsep “fastabichul choirat” berkompetisi/berlomba menjadi
manusia yang paling bermanfaat bagi manusia di luar diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya.
(Tubiyono, 20/3/24