YPPNL – Islam menyerukan marketing religius bilhikmah. Yang dimaksud dengan marketing religius bilhikmah adalah penyampaian informasi secara tepat, benar, dan jelas sehingga tidak menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat. Ide ini terinspirasi dari Al Quran (Al-Nahl: 125), “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan- Nya dan Dia yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk”.
Jalan menuju nilai ketuhanan (religius) perlu dikelola dengan marketing yang bagus agar “balance” dengan nilai-nilai kebutuhan dunia. Marketing religius secara spesifik adalah penyampaian nilai ketuhanan secara ilmiah, berdasarkan data, fakta, informasi yang tepat, benar, dan jelas (QS, Al-Nahl: 123; 125). Nabi Muhammad SAW menyerukan Islam di tengah-tengah masyarakat beragama Yahudi, Nasrani, dan masyarakat tak beragama (kafir) di Mekah. Secara diplomatis, Muhammad SAW atas petunjuk Rob-Nya menyatakan bahwa Islam adalah agama sebagaimana yang dianut oleh Ibrahim.
Gagasan di atas, ada relevansi dengan sebuah artikel bertema “religious marketing” terbit 2016, ditulis oleh Ariadna Gavra Juravle, Constantin Sasu, Geanina Constanta Spataru dari Universitatea Alexandru Iuan Cuza. Artikel tersebut dipublikasikan pada jurnal “SEA Practical Application of Science”. Volume IV. Issue 2 (11). 2016. Istilah “religious marketing” diidentifikasi sebagai hal kontroversi. Istilah tersebut terdiri dari dua kata yaitu “theologians” dan “marketers”.
Istilah “religious marketing” dikategorikan kontroversi karena tidak lazim, tidak umum, atau tidak konvensional/kelasik. Ketidaklaziman ini didasarkan atas komparasi antara “nonprofit marketing” dan “classic marketing”. Jika dilihat dari unsur-unsurnya seperti: “to whom it applies, goals, components, nature of the exchange, market segmentation” dan “benefits”, maka “nonprofit marketing” yang identik dengan marketing religius jelas berbeda dengan “ classic marketing”. Sebagai ilustrasi, benefit atau keperuntukan (penerima) pada marketing religius adalah anak yatim, fakir, dan miskin; berbeda benefit pada marketing kelasik adalah perusahaan atau lembaga bisnis yang bersangkutan.
Marketing religius, penyampaian nilai ketuhanan, sangat berat bila dibandingkan dengan marketing konvensional. Karena marketing religius benefit material tidak jelas, segmen pasar bervariasi, tujuan personal dan lembaga bisa berbeda-beda. Oleh karena itu, marketing religius dengan menggunakan strategi bilhikmah atau bijaksana, tidak perlu pemaksaan. Jika terjadi perbedaan pemahaman diperlukan edukasi secara berkelanjutan, dan dialog yang konstruktif. (Tubiyono, 12/7/24)